Minggu, 06 Desember 2009

Busung Lapar: Adakah Peran Pendidikan?

Oleh : Suparlan *
Pendidikan adalah investasi utama satu bangsa. Inti permasalahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kesadaran pemimpin bangsa terhadap pendidikan dan rendahnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan.
(Sayidiman Suryohadiprodjo)
Pendidikan menaikkan penghasilan keluarga, dan pendidikan kaum wanita pada umumnya memberi dampak bagi terwujudnya keluarga kecil yang lebih sehat, menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan, serta memperbaiki gizi anak.
Di Afrika, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak berpendidikan mengalami 20% kematian sebelum mencapai usia 5 tahun, sedangkan bagi anak yang ibunya mengalami pendidikan paling sedikit 5 tahun di sekolah, hanya mengalami 12% kematian. Di Brazil, wanita buta huruf rata-rata mempunyai 6 anak, sedangkan bagi wanita yang melek huruf, rata-rata hanya memiliki 2 sampai 3 anak
(UNESCO).
Adanya tayangan di televisi tentang anak-anak balita yang terkena folio dan busung lapar telah mengingatkan kepada kita bahwa sebagian rakyat di negeri tercinta yang konon kaya raya ini memang telah benar-benar jatuh di bawah garis kemiskinan. Sungguh satu suguhan berita yang sangat memprihatinkan sekaligus sangat mengherankan dan juga memalukan ketika banyak mobil mewah di jalan yang macet di Jakarta, dan banyak kasus korupsi yang masih menggejala saja di mana-mana.
Penulis ingat dengan tayangan televisi pada satu atau dua dekade yang lalu, ketika negara Ethiopia mendapatkan sorotan tajam, karena banyaknya anak yang tengah mengalami masalah kurang gizi, dengan badan yang kering kerontang tinggal tulang, dengan mata yang menerawang tanpa masa depan, dan dihampiri banyak lalat di tubuhnya. Terlihat para sukarelawan datang ke desa-desa untuk memberikan berbagai bantuan, berupa susu dan makanan bergizi lainnya, serta bantuan teknis lainnya.
Masyaalah. Anak-anak balita di Indonesia, mungkin memang masih jauh belum seperti itu. Hanya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kebanyakan para ibu dari anak-anak di Indonesia itu malah kelihatan gemuk dan sehat. Bahkan tutur bahasanya dalam bahasa Indonesia ketika diwawancarai para wartawan pun kelihatan lancar. Indonesia memang jauh belum seperti itu, atau bahkan sebentar lagi dapat seperti itu, jika semua pihak tidak memiliki kepedulian tentang masalah itu?
Timbullah pertanyaan di benak kita, apakah para ibu-ibu yang anaknya terkena busung lapar itu memang sudah memiliki pendidikan yang memadai? Apakah ibu-ibu yang anaknya terkena busung lapar itu memang buta huruf ataukah tidak pernah mengenyam pendidikan? Apakah faktor pendidikan memegang andil dalam proses terjadinya masalah busung lapar itu? Dengan kata lain apakah munculnya penyakit folio dan busung lapar tersebut juga merupakan implikasi dari kondisi pendidikan kita yang memang sangat lemah? Itulah pertanyaan yang harus memperoleh penjelasan lebih lanjut dari fenomena yang menjadi menu informasi yang tidak mengenakkan sekarang ini.
Kesadaran dan komitmen pemimpin
Pernyataan Sayidiman Suryohadiprojo tentang rendahnya kesadaran dan komitmen para pemimpin patut menjadikan perhatian kita. Benarkah kesadaran dan komitmen pemimpin kita memang kurang terhadap pendidikan? Itu sangat boleh jadi. Budaya amtenar yang masih dimiliki sebagian besar pemimpin birokrat kita adalah salah satu contoh. Pemimpin kita banyak yang masih duduk manis di kursinya yang memang empuk itu. Mereka hanya mengandalkan laporan ABS dari bawahan atau staf dan anak buahnya. Itulah sebabnya maka ketika ada sekolah yang roboh, barulah beliau tersentak. Ketika para wartawan membawa data tentang banyaknya anak-anak yang terkena folio, beliau baru terkaget-kaget. Seharusnya, para birokrat ini langsung turba (turun ke bawah), dan kalau perlu segera mengundurkan diri dari jabatan yang dipangku, jika terjadi kasus yang memalukan seperti itu.
Pernyataan Sayidiman Suryohadiprojo tentang rendahnya komitmen terhadap pendidikan perlu diteliti lebih lanjut. Para peneliti perlu mengarahkan penelitiannya tentang isu-isu kontekstual dan strategis seperti ini. Bukankah di setiap kabupaten/kota ada Bappeda yang salah satu tugasnya juga menyusun perencanaan di daerahnya. Dan perencanaan itu sebenarnya harus disusun berdasarkan data yang akurat yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan atau berdasarkan laporan dari unit-unit yang terkait. Sementara itu, unit-unit yang terkait banyak yang hanya menyediakan laporan dan data yang bersifat ABS. Sehingga perencanaan pembangunan tidak berbasis data yang akurat.
Lagi-lagi, masalahnya sering terkait dengan koordinasi. Koordinasi menjadi barang langka. Masing-masing bagian dari suatu organisasi sering memiliki karakter egoisme sektoral. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh unit penelitian sering tidak diteruskan kepada pihak yang relevan, sementara pihak yang relevan itu juga tidak mau tahu tentang data dan informasi dalam penyusunan rencana dan programnya. Demikian seterusnya sehingga masalahnya menjadi satu lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya. Mata rantai lingkaran setan itu baru diketahui setelah para wartawan membawa data akurat dari lapangan.
Kalau dipikirkan secara jernih, mana mungkin sekolah yang rusak dan malah akan roboh tidak diketahui oleh kepala sekolahnya. Mana mungkin ketua RT, RW, atau kepala dukuh tidak mengetahui kondisi kesehatan warganya. Mana mungkin kepala sekolah atau para pemimpin di tingkat bawah itu tidak melaporkan masalah itu kepada kepala dinasnya. Ataukah laporan yang sebenarnya itu hanya menjadi dokumen bisu di laci-laci meja para pimpinan.
Semua masalah akan terjadi karena akibat dari kesadaran dan komitmen pimpinan yang rendah. Jika pemimpin hanya berorientasi kepada kekuasaan, dan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya, maka komitmen terhadap warganya hanyalah sampai di titik nadir. Kegiatan yang ramai hanya terjadi di kantor saja, sementara di dalam masyarakat tidak ada tanda-tanda gaung peningkatan mutu kehidupan. Maka terjadilah fenomena gedung sekolah yang ambruk, anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang terkena busung lapar, penyakit demam berdarah, dan juga pekat (penyakit masyarakat) seperti judi, madat, mabok, dan sebagainya. Pemimpin sibuk sendiri dengan para punggawa tentang berbagai kegiatan di kantornya, dan masyarakat sibuk dengan masalah kehidupan yang dihadapinya tanpa suri tauladan dari para pemimpinnya.
Kaitan antara pendidikan dengan busung lapar
Dengan mengacu kepada hasil penelitian UNESCO yang dikutip pada awal tulisan ini, jelas bahwa tingkat pendidikan masyarakat akan besar sekali dampaknya kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat, khusuanya kesehatan, keadaan sosial ekonomi masyarakat. Di Afrika, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak berpendidikan mengalami 20% kematian sebelum mencapai usia 5 tahun, sedangkan bagi anak yang ibunya mengalami pendidikan paling sedikit 5 tahun di sekolah, hanya mengalami 12% kematian. Di Brazil ditemukan data bahwa ibu yang yang buta huruf rata-rata mempunyai 6 (enam) anak, sedang ibu-ibu yang melek huruf rata-rata hanya mempunyai 2 (dua) sampai 3 (tiga) anak dengan tingkat kesehatan anak yang lebih tinggi.
Apa artinya? Pendidikan berpengaruh kepada tingkat kesehatan masyarakat, termasuk tingkat gizi masyarakat, bahkan juga berpengaruh besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, tingginya komitmen pemimpin terhadap pendidikan, juga akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bapak Wajidi Rajiin, Asisten Bupati di Sambas, pernah diskusi dengan penulis, bahwa sebenarnya yang perlu menjadi prioritas dalam pembangunan di daerah itu hanya dua bidang saja, yakni perhubungan dan pendidikan. Apa alasannya? Jalan-jalan yang lancar sampai ke desa-desa di seluruh wilayah kabupaten/kota akan meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat, dan dengan demikian secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan dampak berantai berikutnya akan meningkatkan kesehatan masyarakat. Yang kedua pendidikan. Kesadaran masyarakat hasil dari proses pendidikan akan dapat membuka mata rakyat tentang pentingnya merencanakan keluarga, hidup sehat, memiliki kecakapan hidup, dan juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walhasil, jika kedua bidang itu, perhubungan dan pendidikan, memperoleh prioritas dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota, maka insyaallah tingkat kesejahteraan hidup, kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat di daerah kabupaten/kota itu juga akan meningkat.
Contoh kecil dari Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia.
Upacara pengibaran bendera selalu diadakan setiap Hari Senin di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Hampir setiap kali upaya bendera, mesti ada siswa yang pingsan. Kalau tidak satu atau dua orang, bahkan kadang-kadang tiga orang. Timbullah pertanyaan di benak sang kepala sekolah. Mengapa anak-anak sering pingsan di kala mengikuti upacara bendera? Apakah cuacanya ketika itu memang cukup panas? Tidak juga. Anak-anak pun tidak menghadap matahari, melainkan membelakanginya. Ataukah ada mahluk haluskah yang memang sering mengganggunya? Tidak. Dunia pendidikan termasuk dunia yang rasional. Tidak mungkin mahluk halus berani mengganggu orang-orang yang berfikir rasional. Kalau demikian, faktor apakah yang menyebabkan mereka sering pingsan di lapangan? Boleh jadi, anak-anak itu memang sedang tidak sehat. Ataukah anak-anak itu tidak sarapan pagi ketika berangkat sekolah!!. Analisis terhadap kemunkinan faktor itu mengarah kepada kebiasaan anak-anak tidak sarapan pagi, karena kebanyakan mereka berangkat dari rumahnya terlalu pagi, dan dengan demikian mereka tidak sempat sarapan pagi.
Maka dibuatlah kuesioner yang diberikan kepada orangtua siswa. Orangtua siswa diminta mengisi kuesioner tersebut dan mengembalikan kepada sekolah setelah diisi data yang sebenarnya. Kuesioner pun terkumpul dan dianalisis secara sederhana dengan sistem tally. Ternyata, diketahuilah bahwa 46% anak-anak tidak sarapan pagi ketika mereka berangkat ke sekolah. Alasannya sudah dapat diduga, yakni karena mereka terlalu pagi berangkat ke sekolah. Memang, kuesioner itu tidak dapat menjaring apakah anak-anak itu tidak sarapan pagi karena di rumah tidak ada nasi atau makan nasi tetapi tidak cukup gizi. Tetapi yang jelas, anak-anak kita kebanyakan tidak sarapan pagi ketika masuk sekolah. Padahal penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sarapan pagi menunjukkan hasil belajarnya lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak sarapan pagi.
Sejak itulah, maka rapat dewan guru memutuskan agar setiap Hari Jum’at, pihak sekolah harus menyediakan tambahan asupan makanan berupa bubur kacang hijau. Satu panci besar bubur kacang hijau itu disiapkan di lobi sekolah. Dengan membawa gelasnya masing-masing, anak-anak menikmati tambahan makanan itu dengan senang hati.
Apa hasilnya? Secara statistik memang tidak diketahui perubahannya. Perubahan besar yang terjadi adalah mulai tidak adanya anak-anak yang pingsan ketika mengikuti upacara bendera. Anak-anak yang semula tidak sarapan pagi dianjurkan untuk membiasakannya. Yang diperlukan hanyalah upaya untuk meningkatkan kesadaran kepada orangtua dan anak-anak sendiri tentang pentingnya sarapan pagi. Alhamdulillah, peristiwa pingsan di saat upacara bendera sudah jarang terjadi. Contoh kecil ini memberikan gambaran kepada kita tentang pentingnya menjaga gizi anak-anak kita dengan membiasakan sarapan pagi ketika berangkat ke sekolah. Dan itu, dapat dilakukan secara terprogram melalui peran serta lembaga pendidikan sekolah.
Akhir kata
Pendidikan memegang peranan yang amat penting dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya peningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kesehatannya. Proses pendidikan adalah proses kehidupan.
*) Website: www.suparlan.com.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

lusi Blog © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO