Minggu, 06 Desember 2009

Busung Lapar dan Amnesia Massal

Oleh Sri Palupi

ADA yang janggal dengan reaksi masyarakat terhadap kasus busung lapar yang diderita anak-anak di Lombok-NTB dan NTT serta provinsi lain. Mengherankan, masyarakat bisa sedemikian terenyak oleh kasus itu, seolah-olah kasus busung lapar adalah temuan baru.

Kasus busung lapar yang jadi headline di Kompas dan berita di berbagai televisi seolah indikator bahwa krisis yang melanda negeri ini sudah amat serius. Atau seolah kita baru terbangun dari tidur lelap dan mendapati kenyataan, krisis yang melanda negeri ini baru dimulai.

Bila ini yang terjadi, betapa menyedihkan masa depan anak-anak negeri ini. Bukan karena tragedi datang silih berganti. Bukan pula karena bencana terus melanda, tetapi karena penyakit kronis yang diderita bangsa ini dalam wujud amnesia kolektif.

Amnesia kolektif
Kasus busung lapar yang diderita anak-anak di NTB, NTT, dan provinsi lain itu bukan kasus baru. Kalau kita mau membuka kembali lembar berita media cetak nasional 1998-1999, akan didapati sejak krisis melanda negeri ini tahun 1997, gizi buruk, busung lapar, dan kematian anak balita akibat busung lapar sudah menjadi berita.

Sebagai gambaran, pada tahun 1998 tercatat 1.201.450 anak Indonesia umur 0-4 tahun terancam kurang gizi. Tahun 1999, masalah kurang gizi menjadi ancaman serius dengan meningkatnya jumlah anak balita penderita, dari 1.201.450 menjadi empat juta anak. Bahkan anak balita yang meninggal akibat gizi buruk meningkat 50 persen, dari 59 anak balita menjadi 101 anak balita hanya dalam waktu sepekan (17-24/5/1999). Diperkirakan, jumlah anak balita yang terancam kurang gizi terus meningkat, mengingat ada 5-6 juta bayi lahir di Indonesia, dan dari jumlah itu 75 persen-85 persen berasal dari keluarga miskin.

Jangankan di daerah miskin seperti NTB atau NTT, di Jakarta saja pada tahun 1999 ditemukan 12.130 anak balita kurang gizi dan 1.319 anak balita penderita busung lapar. Di Sumatera Barat, pada tahun yang sama, korban busung lapar dan kurang gizi melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Semula 2.825 orang, meningkat menjadi 8.598 anak balita dan 33 di antaranya meninggal. Di Jawa Barat, tahun 1999 ada 7.726 anak balita yang menderita busung lapar. Di Jawa Timur, terdapat 244.000 anak balita menderita gizi buruk dan 400 busung lapar. Di Lampung, 15 anak balita terkena busung lapar. Di Kalimantan Selatan, 146 anak balita menderita busung lapar dan 2.546 anak dirawat di rumah sakit akibat gizi buruk. Kasus yang sama ditemukan di daerah-daerah lain. Angka kasus busung lapar yang dilansir media dapat digambarkan seperti gunung es dengan rasio 1:10. Jika hanya satu anak yang dilaporkan meninggal, sebenarnya ada 10 anak dengan kondisi sama.

Yang patut disimak, pada awal krisis, berita tentang ancaman gizi buruk, busung lapar, dan mati akibat busung lapar tidak pernah menjadi headline di media cetak. Berita-berita itu selalu terselip di antara berita lain. Padahal angka kematian anak balita penderita busung lapar di awal krisis jauh lebih tinggi dari yang diberitakan media massa kini.

Jika kasus busung lapar dan kematian akibat busung lapar melanda anak-anak negeri ini sejak mulai krisis, lalu kenapa baru sekarang kita terenyak? Apakah karena kasus kematian akibat busung lapar itu mendapat "tempat layak" dan ruang lebih luas di media nasional? Selama ini kasus-kasus kematian dan bencana yang terkait persoalan kemiskinan hanya membuat banyak orang terenyak sejenak, namun segera dilupakan tanpa sempat menciptakan perbaikan.

Amnesia kolektif atas kasus-kasus kematian akibat kemiskinan, menjadikan kematian anak-anak miskin negeri ini tak pernah dipandang sebagai tragedi. Untuk melihat masalah busung lapar secara serius, tampaknya kita perlu membongkar cara pandang atas apa yang disebut tragedi.

Tragedi busung lapar
Terhadap sebuah tragedi, kita berupaya untuk tidak melupakan dan terus menjaganya agar tetap dalam memori kolektif. Segala daya dikerahkan guna melawan tiap upaya guna menghapus memori kolektif tentang sebuah tragedi. Sebab, tragedi sering terkait pelanggaran berat hak asasi, yang melibatkan penderitaan korban atau kematian massal dalam satuan waktu tertentu.

Dengan cara pandang seperti itu, nasib jutaan anak Indonesia yang menderita gizi buruk dan satu per satu meninggal, tak akan pernah dianggap signifikan untuk menjadikannya sebagai tragedi nasional yang menuntut penanganan serius. Sebab dalam sistem ekonomi global sekarang ini, keberadaan dan penderitaan kaum miskin tak akan tampak. Mereka tersembunyi di gubuk-gubuk di pelosok-pelosok pedesaan dan di sudut-sudut kumuh perkotaan, yang ruang hidupnya tak pernah terhitung dalam sistem ekonomi formal.

Kematian satu demi satu, perlahan dan diam akibat kemiskinan, dianggap wajar dan tak pernah dicatat secara sistematis. Akibatnya, tak pernah ada data yang menunjukkan adanya kematian massal akibat kemiskinan dalam satuan waktu. Konsekuensinya, penderitaan dan kematian semacam itu tak pernah dilihat sebagai akibat pelanggaran hak asasi.

Seandainya ada yang mencatat satu demi satu penderitaan dan kematian anak-anak akibat kemiskinan, akan didapati busung lapar bukan lagi sebuah kasus, tetapi tragedi nasional. Tragedi yang melibatkan, bukan hanya penderitaan korban atau kematian massal dalam kurun waktu tertentu, tetapi juga "kematian" sebuah generasi yang menentukan hidup matinya negeri ini.

Sebuah peringatan
Pemahaman kita tentang apa yang disebut tragedi menunjukkan, masih ada jurang yang memisahkan antara wilayah hak asasi dan wilayah ekonomi. Pemisahan ini menjadikan pelanggaran berat hak asasi lebih terfokus pada pelanggaran oleh negara terhadap hak sipil politik dan mengabaikan pelanggaran berat hak asasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi. Sebagaimana telah diperingatkan Amartya Sen, peraih Nobel 1998 bidang ekonomi, kelaparan lebih banyak terjadi di negara nondemokratis. Meski negara semacam itu, lanjut Sen, memiliki sumber daya alam berlimpah, kekurangan pangan acap terjadi. Sebab negara nondemokratis senantiasa mengeluarkan kebijakan yang menindas rakyat kecil. Teori Sen berlaku untuk Indonesia.

Meski rezim Soeharto yang represif telah jatuh dan digantikan pemerintahan yang lebih demokratis, integrasi negara ke dalam tata ekonomi global dan tingginya beban utang, selalu berarti, yang paling miskin tetap saja ditelanjangi hak-haknya, sama seperti saat berada di bawah rezim paling otoriter. Sebab hak asasi yang dilanggar penguasa otoriter yang tampak merupakan satu hal, sementara para pencipta kemiskinan dan kelaparan abadi yang tersembunyi dalam kekuatan ekonomi merupakan hal lain. Upaya melawan kekuatan ekonomi yang tidak memperhitungkan keberadaan kaum miskin, dan yang terus mendesakkan penghapusan subsidi atas kebutuhan pokok, lebih banyak swastanisasi, pembayaran utang dengan bunga tinggi, jauh lebih sulit daripada menggulingkan penguasa politik yang otoriter.

Dengan memahami kelaparan dan kematian akibat kemiskinan sebagai pelanggaran berat hak asasi, kita bisa menyikapi kasus busung lapar sebagai peringatan, keadilan sosial tidak bisa lagi diremehkan dan dikeluarkan dari indikator ekonomi global yang makin lama makin terasa kecil pengaruhnya terhadap kesejahteraan mayoritas warga. Penghambaan kita pada "pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas tumpukan utang menjadi sia-sia karena munculnya kelaparan massal dan kematian anak-anak.

Pembangunan selama ini lebih berarti mereduksi berbagai bentuk kekayaan alam menjadi uang, yang akhirnya lebih banyak raib di tangan koruptor. Sudah waktunya kita menghitung biaya tersembunyi yang tak pernah bisa diukur oleh indikator-indikator ekonomi global, namun terus ditanggung demikian banyak orang miskin. Bila tidak, kasus busung lapar akan segera terhapus dari memori publik dan tergusur dari realitas politik elite yang sarat dengan skandal.

Sri Palupi Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, Ketua Institute for Ecosoc Rights

original post: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/09/opini/1801331.htm

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

lusi Blog © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO